Wewenang Syarat, Prosedur Penerbitan Surat Keterangan Pengganti Ijazah dan STTB. Editor Admin Published Juli 08, 2016. Penerbitan Surat Keterangan Pengganti Ijazah dan STTB (Surat Tanda Tamat Belajar) pada Madrasah di lingkungan Kemenag telah diatur khusus melalui Keputusan Dirjen Pendis Nomor 5343 Tahun 2015.
ArticlePDF Available AbstractThe title of this article is Questioning the Authority of the District Court in Resolving Inheritance Cases of Muslim Community after The Enactment of Law No. 3 Year 2006 on the Religious Court A Case Study in Jombang District Court, East Java. The focus of this article includes 1 The reasons Jombang Muslim community chose the District Court in resolving their inheritance case; 2 The reasons the District Court receive, examine and make decisions on inheritance case of Muslim Society. These points are analyzed descriptively, qualitatively, and phenomenologically, using the approach of law sociology and law politics. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. MENYOAL KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI DALAM MENYELESAIKAN PERKARA WARIS MASYARAKAT MUSLIM PASCA LAHIRNYA UNDANG-UNDANG NO. 3 TAHUN 2006 TENTANG PERADILAN AGAMA Studi Kasus di Kabupaten Jombang Jawa Timur Ilham Tohari Institut Agama Islam Negeri Kediri tohariilham Abstract The title of this article is Questioning the Authority of the District Court in Resolving Inheritance Cases of Muslim Community after The Enactment of Law No. 3 Year 2006 on the Religious Court A Case Study in Jombang District Court, East Java. The focus of this article includes 1 The reasons Jombang Muslim community chose the District Court in resolving their inheritance case; 2 The reasons the District Court receive, examine and make decisions on inheritance case of Muslim Society. These points are analyzed descriptively, qualitatively, and phenomenologically, using the approach of law sociology and law politics. Article 49 of Law No. 3 of 2006 on the Religious Court explained that the case of inheritance disputes among people who are Muslims is the absolute authority of the Religious Courts. Article 49 of paragraph 1 of this gives the sense that one of the central principles in this legislation is the principle of Islamic personality. The principle of Islamic personality is regarded as one of the basis that supports the existence of the Religious Court, as the implementer of explanation of Article 10 of Law No. 14 of 1970, which determines that one of the characteristics of the existence of Ilham Tohari 2 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam environment specificity of the Religion Court is based the factors of groups of certain people, and this group of certain people refers a group of people who are Muslims. However, the enactment of Law No. 3 of 2006 on the Religious Court does not mean that inheritance case of Muslims automatically became the absolute authority of the Religious Court. This is based on the elucidation of Article 49 of Law No. 3 of 2006 on the Religious Court, which states that "... What is meant by the people who are Muslims’ includes person or legal entity that voluntarily subjecting themselves to the Islamic law on matters which fall under the authority of the Religious Courts in accordance with the provisions of this Article. " Supposedly the content of an article explanation of a law strengthens the article being described. Elucidation of Article 49 of the law makes the Religious Court not have absolute authority, because the Muslim community who do not subject themselvesvoluntarily to the Islamic law can resolve their inheritance case in the District Court. In addition, the Religious Court has no rights to impose Muslim society subject to Islamic law in accordance with their religion. Key Terms District Court Authority, Inheritance Cases of Muslim Community, Law No. 3 Year 2006 on Religious Court A. PENDAHULUAN I. Latar Belakang Kehadiran Peradilan Agama dimaksudkan untuk mewadahi hukum-hukum yang didasarkan pada ajaran Islam dapat diimplementasikan di Nusantara Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Menyadari akan mayoritas masyarakat Muslim maka pemerintah Hindia Belanda membentuk Peradilan Agama pada tahun 1882 di tempat-tempat yang ada Landraad Pengadilan Negeri nya. Bahkan sebelum secara formal diakui oleh pemerintah pada tahun 1882 itu, peradilan agama telah Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 3 diterapkan secara riil. Begitu juga pada tahun 1760 telah diterbitkan Compendium Freijer yang menghimpun materi hukum perkawinan dan waris Islam yang dijadikan pedoman menyelesaikan sengketa antara orang-orang Islam Mahfud MD, 1999 361. Dalam sejarahnya perdebatan tentang penerapan hukum Islam sudah terjadi sejak masa penjajahan, munculnya teori receptie Christiaan Snouckin Hurgronje 1857-1936 yang secara tegas berbeda dan bahkan bertentangan dengan teori receptio in complexu yang dikemukakan pendahulunya Van den Berg 1845-1927 adalah bukti terjadinya perdebatan tersebut. Teori receptie tersebut menegaskan bahwa hukum Islam akan berlaku secara efektif di kalangan umat Islam jika hukum Islam tersebut sejalan dengan hukum adat di Indonesia. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Indonesia tidak didasarkan pada ajaran agama Islam tetapi lebih kepada hukum adat setempat. Teori ini menyatakan Hukum penduduk setempat dan juga orang-oran Timur lainnya sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh agama yang dianut sejauh tidak ada bukti lain yang menolaknya. Sebab dengan menerima dan menganut suatu agama berarti sekaligus juga menerima aturan hukum dari agama yang dianutnya tersebut. Jika terdapat bukti yang sebaliknya atau “sebuah pengecualian” berupa aturan-aturan tertentu, maka kekecualia tersebut harus dipandang sebagai “deviasi” dari hukum agama yang telah diterima secara complexu. Van Vollenhoven, Van Vollenhoven on Indonesia Adat Law, terj. J. F. Holleman, Rachel Kalis, dan Kenneth Maddock. Martinus Nijhoff, 1981 20. Diterapkannya teori receptie oleh Snouck Hurgronje mengakibatkan terjadinya kemandekan gerak maju hukum Islam. Pada masa sebelumnya pemerintah kolinial Belanda sama sekali tidak mnghiraukan hukum Adat, namun kemudian mereka melakukan upaya yang sistematis untuk mengganti hukum Islam dengan Hukum Adat. Hal ini ditandai dengan penggantian nama Undang-Undang Dasar Belanda dari Regeerings Reglement RR menjadi Indische Staatsregeling IS pada tahun 1919, Pasal 78 2 RR Stbl. 1885 2 kemudian menjadi pasal 134 2 IS. Pasal baru itu merumuskan “Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila Ilham Tohari 4 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam keadaan tersebut telah diterima oleh hukum Adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh ordonansi”. Afdol, 201037 Berdasarkan Pasal 134 2 IS tersebut, maka pada tahun 1937, kewenangan Pengadilan Agama di Jawa-Madura, diperkecil dan dibatasi melalui Pasal 2a Ordonansi Peradilan di Jawa-Madura Stbl. 1937 Nomor 116, yakni hanya mengenai perkara perkawinan. Perkara waris dicabut dari kewenangan Pengadilan Agama dan diserahkan ke Pengadilan Umum. Dengan dikeluarkannya peraturan ini merupakan awal kemunduran peradilan agama utamanya dalam hal menangani perkara warisan umat Islam. Afdol, 201037 Dalam perkembangannya peradilan agama memiliki kembali kompetensi mengadili perkara waris orang Islam dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Namun demikian, dalam penjelasan undang-undang tersebut, masih dimungkinkan bagi orang Islam untuk memilih peradilan yang dikehendaki. Maka dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama mempertegas bahwa urusan perkara waris orang Islam adalah kompetensi absolut peradilan agama. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tersebut, maka Pengadilan Umum tidak diperkenankan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili perkara waris orang Islam. Namun dalam praktiknya Pengadilan Negeri Kabupaten Jombang masih menerima dan mengadili perkara waris orang Islam, dan sekaligus tidak sedikit orang Islam yang menyelesaikan perkara warisnya di Pengadilan Negeri tersebut. II. Rumusan Masalah Memperjelas dan mempertegas kewenangan Pengadilan Agama dalam mengadili perkara waris orang yang beragama Islam adalah persoalan yang sangat penting agar tidak terjadi kesalahpahaman antara Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama. Oleh karena itu permasalahan yang perlu dikaji dalam tulisan ini adalah 1. Apa alasan Pengadilan Negeri Kabuaten Jombang menerima, memeriksa dan mengadili perkara waris masyarakat Muslim? 2. Apa alasan masyarakat Muslim Kabupaten Jombang menyelesaikan perkara waris mereka di Pengadilan Negeri? Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 5 III. Telaah Pustaka 1. Pengadilan Negeri Indonesia adalah Negara hukum rechtstaat, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai konsekuensi dari negara hukum, maka semua tindakan yang dilakukan baik oleh penyelenggara negara maupun oleh warga negara harus didasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Apabila terjadi pelanggaran hukum, hukum harus ditegakkan dengan menindak pelaku sesuai dengan ketentuan, dan apabila terjadi sengketa, maka sengketa itu harus diselesaikan secara hukum pula. Untuk mewujudkan tercapainya negara hukum tersebut, diperlukan adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan, guna menegakkan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pasal 18 jo Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewenangan atau kompetensi absolut yurisdiksi masing-masing badan peradilan di empat lingkungan peradilan diatur sebagai berikut a. Peradilan Umum berwenang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana dan perdata. b. Peradilan agama berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam. c. Peradilan Militer berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana meliter. d. Peradilan Tata Usaha Negara berwenang memeriksa, mengadili, memutus dan menyelesaikan sengketa tata usaha Negara. Pasal 25 ayat 2, ayat 3, s/d ayat 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pengadilan Negeri sebagai salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman yang berada dalam lingkup badan peradilan umum mempunyai kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dan perdata di tingkat pertama. Kewenangan ini didasarkan pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun Ilham Tohari 6 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 1986 jo. Stbl. 1937 Nomor 116. Pasal 50 Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut menentukan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Kewenangan Pengadilan Negeri dalam perkara pidana mencakup segala bentuk tindak pidana, kecuali tindak pidana militer yang merupakan kewenangan Peradilan Militer. Sedangkan dalam perkara perdata, Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara perdata secara umum, kecuali perkara perdata tertentu yang merupakan kewenangan Pengadilan Agama. Kewenangan Pengadilan Negari mengadili perkara perdata mencakup perkara perdata dalam bentuk gugatan dan perkara permohonan. Perkara perdata gugatan adalah perkara yang mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih yang disebut penggugat dan tergugat. Sedangkan perkara permohonan adalah perkara yang tidak mengandung sengketa dan hanya ada satu pihak yang disebut pemohon. Perkara yang tidak mengandung sengketa disebut juga dengan perkara valunter, sedangkan perkara yang mengandung sengketa disebut perkara contensius. Perkara gugatan banyak macamnya tergantung dari apa yang digugatkan oleh penggugat sesuai dengan kewenangan pengadilan, dan gugatan tersebut harus ada urgensi dan dasar hukumnya. Salah satu gugatan yang sering diajukan ke pengadilan adalah gugatan sengketa waris. Pada awalnya lembaga peradilan yang berwenang memeriksa gugatan sengketa waris adalah Pengadilan Negari. Dengan berlakunya UU Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama diberi kewenangan untuk memeriksa dan mengadili perkara sengketa waris berdasarkan hukum Islam. Dengan adanya undang-undang tersebut kewenangan mengadili gugatan sengketa waris bagi penggugat yang beragama Islam beralih dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Agama. Namun demikian Pengadilan Negeri masih menerima dan mengadili gugatan perkara waris bagi penggugat yang beragama Islam. Hal ini menimbulkan permasalahan tentang kewenangan Pengadilan Negeri terhadap sengketa waris yang diajukan oleh penggugat beragama Islam setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 7 Terkait kewenangan Pengadilan Negeri, dalam hukum acara perdata dikenal 2 macam kewenangan, ialah 1 Wewenang mutlak atau absolute competentie. 2 Wewenang relative atau relative competentie. Wewenang mutlak adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan. Dilihat dari macam-macam pengadilan menyangkut pemberian kekuasan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmacht. Misalnya persoalan mengenai perceraian, bagi mereka yang beragama Islam berdasarkan ketentuan Pasal 63 1a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah wewenang Pengadilan Agama. Demikian juga persoalan warisan bagi yang beragama Islam adalah wewenang Pengadilan agama yang didasarkan pada Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Sedangkan perkara perceraian dan kewarisan selain orang-orang yang beragama Islam adalah wewenang Pengadilan Negeri. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009 11. Lawan dari wewenang mutlak adalah wewenang relatif, wewenang relatif mengatur pembagian kekuasaan mengadili antara pengadilan yang serupa, tergantung tempat tinggal tergugat. Pasal 118 HIR menyangkut kekuasaan relatif yang dalam bahasa Belanda disebut distributie van rechtsmacht. Azasnya adalah “yang berwenang adalah Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat”. Azas ini dalam Bahasa Latin dikenal dengan sebutan “Actor Sequitur Forum Rei ”. Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, 2009 12 2. Peradilan Agama Sebagaimana diketahui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan majemuk yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama. Terkait agama, Islam adalah agama yang paling banyak dianut oleh bangsa Indonesia. Sebagai agama -seperti agama-agama lain- Islam mengajarkan aturan-aturan hukum yang harus ditaati oleh pemeluknya, Oleh karena itu, hukum Islam menempati posisi sentral dan menjadi inti serta jantung dari ajaran Islam itu sendiri. Karena itu wajar jika Islam seringkali disebut sebagai agama hukum a religion of law. Ilham Tohari 8 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Menyadari pentingnya posisi hukum Islam tersebut, maka wajar jika Pemerintah Kolonial Belanda ketika itu memberikan perhatian khusus terhadap pemikiran dan implementasi hukum Islam di daerah satu kebijakan sentral yang diambil oleh Pemerintah Kolonial Belanda waktu itu adalah merumuskan dan menformulasikan teori-teori yang dijadikan pijakan dalam kaitannya dengan pemikiran dan implementasi hukum Islam di antara teori yang amat dikenal luas adalah Receptio in Complexu oleh L. W. C. van den Berg dan Receptie oleh Christian Snouck Hurgronje. Abdul Ghofur Anshari, 2010viii. Hukum kewarisan Islam secara legal formal berjalan seiring dengan sejarah perkembangan lembaga peradilan yang berlaku di Indonesia. Lembaga yang melaksanakan fungsi peradilan agama sudah ada sejak kerajaan-kerajaan Islam berdiri, namun pada waktu itu kekuasaan sebagai hakim umumnya dilakukan oleh raja atau sultan yang sedang berkuasa, khususnya perkara-perkara yang menyangkut agama. Dasar untuk memutus suatu perkara biasanya dikaitkan dengan al-Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab fikih yang telah disusun oleh para ulama yang ahli dalam ilmu fikih. Disamping itu juga didasarkan kepada hukum adat sebagai hukum yang hidup living law yang tidak bertentangan dengan hukum Islam. Istilah hukum adat yang dijadikan sebagai sumber hukum ini dalam Islam disebut urf. Sesuai dengan pengertian ini, maka di dalam kaidah umum dirumuskan “al-Adah Muhakkamah” yang berarti bahwa adat itu, baik yang bersifat umum ataupun yang bersifat khusus bisa dijadikan dasar hukum untuk menetapkan ketentuan hukum syariat Islam. Sobhi Mahassani, 1976 261 Pada masa pemerintahan kolonial Belanda atau tepatnya tahun 1882 keluarlah ordonansi Stbl. 1882 Tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura Raihan A. Rasyid, 2003 1. Khusus bagi Kalimantan Selatan berdasarkan Staatsblad 1937 Nomor 638 dan Nomor 639 dibentuk Peradilan Tingkat Pertama dan Kerapatan Qadhi Besar untuk tingkat banding Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak 10. Lembaga Peradilan Agama dengan Stbl. 1882-152 diistilahkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda sebagai “priesterraad” yang artinya peradilan pendeta. Hal ini dilakukan karena mereka mengasumsikan bahwa para Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 9 ulama yang menjalankan kekuasaan kehakiman di bidang hukum perdata sama saja dengan pendeta yang selama ini mereka kenal. Namun demikian dalam Stbl. 1882-152 tersebut tidak ditentukan wewenang Peradilan Agama, sehingga kewenangannya tetap berlaku sebagaimana yang telah ada sebelumnya. Dikeluarkannya aturan Nomor 152 tahun 1882 adalah merupakan respons Pemerintah Kolonial Belanda terhadap teori Receptio in Complexu oleh Ven den Berg. Pada waktu itu kewenangan Peradilan Agama terkadang berbenturan dengan Pengadilan Negeri karena sengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah Belanda, sebab pemerintah Hindia Belanda sejak semula takut dan hawatir terhadap hukum Islam. Hal ini karena hukum Islam dinilai bertentangan dengan agama mereka. Oleh karenanya, menurut mereka, memberikan hak hidup bagi hukum Islam sama artinya memberi peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia. Selain itu orang-orang Belanda baik di negerinya sendiri maupun di Hindia Belanda berharap segera dapat menghilangkan pengaruh Hukum Islam dari sebagian besar orang Indonesia dengan berbagai cara di antaranya melalui proses kristenisasi. Hal ini didasarkan pada anggapan tentang superioritas agama Kristen terhadap agama Islam dan sebagian lagi berdasarkan kepercayaan bahwa sifat sinkritik agama Islam di pedesaan Jawa akan memudahkan orang Islam Indonesia dikristenkan jika dibandingkan dengan mereka yang berada di nagara-negara muslim lainnya lihat Daud Ali, 1991215. Apa yang terjadi dalam Peradilan Agama ini didukung dan dipengaruhi oleh teori yang berkembang pada waktu itu, yaitu Receptio in Complexu yang dikemukakan oleh Van den Berg dan teori Receptie yang dikemukakan oleh Snouck Hurgronje dan Van Vollenhaven. Berdasarkan teori Receptio in Complexu bahwa yang diterima oleh orang Islam Indonesia tidak hanya bagian-bagian hukum Islam tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan. Oleh karena itu Peradilan Agama atau Raad Agama pada awal berdirinya berwenang untuk menerima, memeriksa dan memutus seluruh sengketa keperdataan yang dialami oleh umat Islam Daud Ali, 1991215. Sedangkan teori Receptie yang dicetuskan oleh Christian Snouck Hurgronje 1857-1936 seorang penasehat Pemerintah Ilham Tohari 10 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Hindia Belanda urusan Islam dan Bumi Putra, adalah upaya menentang teori Receptio in Complexu, yang dikemukakan pendahulunya, Van den Berg. Berdasarkan penyelidikannya terhadap orang-orang Aceh dan Goya di Banda Aceh, ia berpendapat bahwa yang berlaku bagi umat Islam di kedua daerah itu adalah bukan hukum Islam, tetapi hukum adat. Pada hukum adat yang berlaku telah dipengaruhi oleh hukum Islam, tetapi pengaruh itu baru mempunyai kekuatan hukum jika benar-benar diterima oleh hukum adat lihat Daud Ali, 1991215. Dengan demikian, hukum yang berlaku di Indonesia tidak didasarkan pada ajaran agama Islam tetapi lebih pada hukum adat setempat. Penelitian yang dilakukan oleh Snouck adalah dalam rangka menjaga agar adat di Aceh dan Sumatera tetap hidup sebagaimana adat itu telah lahir dari keadaan masyarakat dan berkembang bersamanya. Selain itu, juga menjaga dari uasaha pihak Islam yang keras untuk menghapuskannya sekaligus mengubah bentuknya, yang pada akhirnya akan merusak dan merugikan masyarakat tersebut. Karena itu patut mendapat perlindungan dan bantuan dari undang-undang Pemerintah Belanda Snouck Hurgronje 24-25. Munculnya teori Receptie tersebut menyebabkan Peradilan Agama dikurangi kewenangannya, misalnya Pengadilan Agama tidak lagi berwenang menerima, memeriksa dan memutus sengketa perkara di bidang kewarisan umat Islam. Perubahan kewenangan ini didasarkan pada perubahan Pasal 134 ayat 2 Indische Staatsregeling IS pada tahun 1937 dibatasi mulai Pasal 2a ordonansi peradilan di Jawa-Madura Staatsblad 1937 Nomor 116 yaitu hanya berwenang mengenai masalah perkawinan, sedangkan masalah kewarisan dicabut dan diserahkan kepada Peradilan Umum Afdol, 201037 Pada kenyataannya sisa-sisa peninggalan Belanda di bidang Peradilan Agama masih ada di zaman awal kemerdekaan, khususnya yang terkait dengan diperlukannya fiat eksekusi executor verklaring dari Ketua Pengadilan Negeri terhadap putusan yang dikeluarkan oleh para hakim Pengadilan Agama sehingga dapat dinilai bahwa kedudukan Peradilan Agama pada waktu itu adalah subordinatif terhadap Peradilan Umum atau Peradilan Negeri, sehingga keberadaannya tidak memiliki kemandirian dalam hal melaksanakan fungsi dan peran yang dimilikinya Muhammad Daud Ali, 2000 253. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 11 Sementara itu, Peradilan di luar daerah Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan Selatan masih berjalan seperti biasa sampai dikeluarkannya Peraturan Pemerintah PP Tahun 1957 setelah Indonesia merdeka yaitu Peraturan Pemerintah PP Nomor 45 Tahun 1957. Pada Peraturan Pemerintah tersebut mengatur kewenangan Peradilan Agama secara legislatif meliputi hukum perkawinan, kewarisan, hadlanah, waqaf, hibah, dan sedekah baitulmal. Sebelum tahun 1882 Peradilan Agama benar-benar merupakan peradilan dalam arti yang sejak 1882 Peradilan Agama secara berangsur dikurangi arti dan peranannya dan puncaknya terjadi pada bulan April 1937 ketika kewenangannya Peradilan agama dikurangi praktis Peradilan agama hanya berwenang menangani perkara-perkara sengketa nilak, talak, dan rujuk, yang berlaku di Jawa, Madura, dan sebagian Kalimantan Selatan Bustanul Arifin, 1996 51. Peraturan pemerintah tersebut memberi pengertian bahwa kewenangan perkara kewarisan dimiliki oleh Pengadilan Agama di luar Jawa-Madura. Namun hal tersebut telah menimbulkan persoalan sehubungan dengan masalah wewenang untuk mengadili, karena sengketa mengenai harta waris adalah juga wewenang Pengadilan Negeri untuk mengadilinya. Kewenangan Pengadilan Negeri ini berdasar pada Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo. Stbl. 1937 No. 116. Pasal 50 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tersebut menentukan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Oleh karena itu dalam masalah kewarisan, Pengadilan Agama pada waktu itu hanya bisa memberi fatwa saja, yang disebut dengan fatwa waris Wantjik Saleh, 1977 71. Dalam hal Perkara waris telah mendapat perhatian setelah diberlakukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Undang-Undang tersebut Peradilan Agama berwenang menangani sengketa perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan sadaqah. Namun demikian penyelesaian sengketa waris bagi umat Islam masih diberlakukan proses pemilihan hukum hak opsi, yaitu hak untuk memilih sisten hukum yang dikehendaki para pihak yang berperkara sebagai Ilham Tohari 12 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam acuan hukum yang akan diterapkan dalam penyelesaian suatu perkara Abdullah Tri Wahyudi, 200473. Dalam hal ini penyelesaian perkara waris dapat dipilih untuk diselesaikan di Pengadilan Umum atau di Pengadilan Agama. Dalam penjelasan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan agama dinyatakan “sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan dipergunakan dalam pembagian warisan Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum, 2004 98. Kewenangan penyelesaian terhadap perkara waris di lingkungan Peradilan Agama dapat terealisasikan denga sempurna adalah setelah diundang-undangkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dengan berlakunya undang-undang tersebut, penyelesaian perkara waris bagi umat Islam harus diputus dan diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. IV. Pendekatan dan Metodologi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian lapangan yang memfokuskan pada penggalian data tentang kewenangan pengadilan negeri dalam menyelesaikan perkara waris orang Islam pasca lahirnya UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Jenis penelitian ini adalah kualitatif dan merupakan studi kasus Robert k. Yin, 1997 49. Studi ini berusaha menyingkap alasan-alasan hakim pengadilan negeri menyelesaikan perkara waris orang Islam. Berdasarkan rumusan masalah yang sudah dijelaskan sebelumnya, pokok permasalahan dalam penelitian ini akan dikaji secara deskriptif-kualitatif-fenomenologis Allyn & Bacon, 2000 16. Disamping itu penelitian ini juga menggunakan pendekatan sosiologi hukum dan politik hukum. Penelitian ini mendasarkan pada dua sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer yang digunakan dan merupakan landasan utama dalam penelitian ini adalah hakim dan penitera pengadilan negeri Jombang. Sementara sumber sekunder berkaitan berbagai pemikiran dan gagasan banding yang memiliki relevansi dengan data primer, pendapat para pakar, jurnal ilmiah, laporan hasil penelitian yang terkait dengan pertanyaan penelitian dalam tulisan ini. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 13 B. PEMBAHASAN I. Perkara Waris di Pengadilan Negeri Tabel 1 Perkara Waris Orang Islam di Pengadilan Negeri Reg. 12 Pebruari 2008 Para Penggugat adalah ahli waris pengganti, menggugat harta yang belum dibagi Dicabut Tgl. 12 Maret 2008 Reg. 21 April 2008 Menggugat harta warisan yang dikuasai dan beralih atas nama salah-satu Tergugat yang juga sebagai ahli waris Dikabulkan Tgl. 22 Oktober 2008 Reg. 2 November 2007 2 dua bidang sawah dibagi sendiri di antara Tergugat tanpa menghiraukan para Penggugat Dikabulkan Tgl. 30 Juni 2008 Reg. 25 Januari 2007 Harta waris yang merupakan hak Penggugat tidak diberikan oleh Tergugat Reg. 22 November 2007 Anak angkat Pewaris menggugat tanah sawah yang dihaki dan diambil hasilnya oleh Tergugat Perdamaian Tgl. 6 Peb 2008 Reg. 3 April 2007 Penggugat menggugat harta asal Pewaris yang ditempati Tergugat Tidak Diterima Tgl. 24 Sept 2007 Ilham Tohari 14 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Reg. 24 April 2006 Penggugat memintak hak atas tanah waris peninggalan orang tuanya Perdamaian Tgl. 12 Juni 2006 Reg. 8 Oktober 2009 Penggugat sebagai duda dari Pewaris memintak harta yang menjadi hak Penggugat Dikabulkan Tgl. 19 April 2010 Reg. 9 Maret 2010 Penggugat adalah ahli waris Pewaris yang meninggal tanpa meninggalkan anak. Dikabulkan Tgl. 15 Juni 2010 Penggugat adalah ahli waris pengganti yang menuntut hak warisnya yang dikuasai oleh Tergugat Perdamaian Tgl. 21 Juli 2009 Sumber Pengadilan Negeri Jombang Dari daftar perkara yang terdapat dalam tabel tersebut di atas adalah perkara waris orang-orang yang beragama Islam yang diselesaikan di Pengadilan Negeri. Dipilihnya pengadilan negeri karena lembaga peradilan ini dinilai dapat memberikan rasa keadilan yang sesuai dengan zaman dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, serta tidak mengadili dengan hukum yang bertele-tele. Demikian yang disampaikan oleh Ida Zoerya No. 6/ ia adalah ahli waris dari kakak perempuannya yang telah meninggal dunia tanpa meninggalan keturunan. Dalam wawancara dengan Ida Zoeryah pada tanggal 12 Juni 2015 menegaskan, bahwa ia juga memahami tentang hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia, utamanya pemahaman tentang hukum waris adat, karena hukum waris adat tidak bertele-tele, demikian juga ia memahami hukum waris Islam meskipun garis besarnya saja. Pada umumnya masyarakat muslim Jombang memahami tentang aturan-aturan yang terkait dengan harta waris meskipun hanya secara global, karena masalah waris merupakan keniscayaan dan selalu terjadi pada masyarakat. Ia juga menegaskan bahwa pembagian waris bukan masalah yang sulit ketika semua keluarga hati dan pikirannya longgar, permasalahan Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 15 dalam pembagian waris sering terjadi jika salah satu keluarga ada yang nakal dan ingin menang sendiri sehingga tidak terwujud rasa keadilan di antara anggota keluarga. Menurut penulis, pandangan tersebut di atas memberi makna bahwa pada dasarnya masyarakat memahami tentang aturan waris dari adat kebiasaan masyarakat lainnya dalam membagi harta waris, pembagian harta waris dimaksud dilakukan oleh masyarakat secara berulang-ulang sehingga membentuk kebiasaan yang disepakati yang didasarkan pada nilai-nilai normatif yang mengakar semenjak dahulu kala serta sesuai dengan rasa keadilan dan harmoni masyarakat setempat. Di sini, informan ingin menunjukkan bahwa hukum waris adat lebih mudah dipahami dari pada hukum waris Islam atau pun hukum waris perdata Indonesia BW yang keduanya terkesan sulit dan matematis, meskipun keduanya juga ingin memberikan rasa keadilan menurut caranya masing-masing sesuai dengan tradisi masyarakat di mana kedua hukum itu dilahirkan. Hukum waris Islam dan hukum waris perdata Indonesia BW adalah dua tradisi hukum yang diimpor dari luar yang masuk ke Nusantara saat terjadinya penyebaran Islam dan kolonialisme Belanda di daerah Indonesia. Hukum waris adat sudah ada terlebih dahulu semenjak nenek moyang dahulu sebelum hukum waris Islam dan hukum waris perdata Indonesia BW masuk ke Nusantara. Menurut sejarah hukum dapat diketahui bahwa sistem hukum adat merupakan sistem hukum yang pertama kali berlaku dan merupakan pencerminan kesadaran hukum bangsa Indonesia bersama-sama dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama Hindu, yang memainkan peranannya berfungsi sebagai pengendalian sosial. Atas dasar pemahaman terhadap hukum waris yang berlaku di Indonesia utamanya hukum waris adat, mendorong informan untuk menyelesaikan perkara warisnya di Pengadilan Negeri Selanjutnya menurut Muhsin dalam wawancara 9 April 2015 menyatakan, saya sebagai mantan Sekretaris Desa sedikit banyak saya punya pemahaman tentang waris, paling tidak yang lazim dijadikan rujukan masyarakat adalah hukum waris adat dan hukum waris Islam. Tentang hukum waris Islam, saya tidak hafal secara pasti berapa besar bagian masing-masing ahli waris, namun yang pasti setiap ahli waris menerima bagian masing-masing sesuai Ilham Tohari 16 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam dengan yang sudah ditentukan dalam hukum waris Islam. Hal ini berbeda dengan hukum waris adat, hukum waris yang biasa digunakan oleh masyarakat di sini, yang saya maksud bahwa masyarakat di sini ketika membagi waris kebanyakan di dasarkan pada musyawarah keluarga dan biasanya dibagi sama rata di antara ahli waris. Muhsin memahami bahwa ada perbedaan antara hukum waris Islam dan hukum waris adat, paling tidak dalam ketentuan bagian porsi masing-masing ahli waris sebagaimana yang diajarkan agama Islam misalnya dalam firman Allah swt. Artinya “Allah mensyari'atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan” QS. al-Nisa 11. Al-Quran Surah An-Nisa’ ayat 11 di atas mengandung beberapa garis hukum kewarisan Islam, di antaranya Allah mengatur tentang perbandingan perolehan antara seorang anak laki-laki dengan seorang anak perempuan, yaitu 2 1 atau anak laki-laki mendapat bagian dua kali dibanding dengan anak perempuan. Menurut Muhsin, garis hukum kewarisan dalam ayat ini yang paling terkesan dikalangan masyarakat, karena itu sebagian masyarakat menerima dan menjalankannya tetapi sebagian besar tidak menggunakannya sebagai landasan untuk menyelesaikan perkara waris di antara mereka. Talkah mengatakan “Dalem mboten kagungan ilmu hukum waris kados engkang dipun pahami kalian tiang-tiang engkang belajar, keranten wonten dusun meniko poro ustadz mboten natos maringi keterangan engkang gegayutan kalian perkawis waris. Dalem piyambek mangertos waris saking kebiasaan masyarakat mriki lan lelampahan poro pinisepuh, wonten pundi masyarakat mriki bile mbagi waris dipun musyawaroaken kalian keluarga lintunipun”. wawancara tanggal 23 Juni 2015 Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 17 Terjemahannya “Saya tidak memiliki pengetahuan hukum waris seperti yang dipahami oleh orang-orang yang belajar, sebab di desa saya ini para ustadz hampir dipastikan tidak pernah memberi keterangan dalam da’wahnya hal-hal yang terkait perkara waris. Sementara itu saya memahami masalah waris dari kebiasaan masyarakat di sini dan apa yang dilakukan oleh nenek moyang, yang mana masyarakat di sini jika membagi waris dengan cara musyawarah untuk mendapat kesepakatan di antara keluarga yang ditinggal oleh pewaris” Talkah menegaskan bahwa hukum waris Islam sejauh yang ia pahami adalah hukum waris yang ditetapkan oleh ajaran agama Islam. Talkah tidak memahami hukum waris Islam secara menyeluruh, tetapi paling tidak yang paling terkesan dari ajaran waris Islam itu adalah bagian laki-laki lebih banyak dari bagian perempuan, dan biasanya hanya keluarga santri tulen yang membagi harta warisanya didasarkan pada hukum waris Islam. Sementara kebanyakan masyarakat di lingkungan Talkah dalam membagi waris biasanya dibagi rata baik laki-laki maupun perempuan, dan sebagian masyarakat yang lain, membiarkan utuh harta warisannya bahkan tidak dibagi, karena berupa tanah sawah dan digarap secara bergantian di antara ahli waris. Talkah menegaskan bahwa ia tidak memahami secara pasti apakah cara tersebut bertentangan dengan hukum Islam atau tidak bertentangan, namun kenyataannya itu yang terjadi pada masyarakat di mana Talkah bertempat tinggal. Dari penjelasan para informan di atas dapat dimaknai bahwa secara umum masyarakat muslim Jombang pada dasarnya lebih memahami tentang hukum waris adat, dan lebih cenderung memilih hukum waris adat tersebut daripada hukum kewarisan lainnya yang berlaku di Jombang. Hal ini disebabkan hukum waris adat tidak hanya dijalankan secara turun temurun, tetapi juga disebabkan mekanisme dalam hukum waris adat tidak menggunakan cara yang sangat rumit serta perhitungan yang sangat matematis dalam pembagian harta peninggalan. Setiap keluarga menerima aset dengan ukuran yang sama atau yang sesuai dengan kesepakatan tanpa ada pertimbangan perbedaan gender, keyakinan agama, umur, dan lain sebagianya. Selama mereka Ilham Tohari 18 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam masih berasal dari garis keturunan yang satu, secara teoritis pengalihan hak property menurut garis vertikal bisa diterima. Dalam prakteknya, prioritas—dalam jumlah warisan—seringkali diberikan kepada ahli waris yang lebih banyak membutuhkan aset tersebut, misalnya anak paling tua yang sudah menikah sehingga membutuhkan aset sebagai modal bagi kehidupan keluarganya yang baru. Dari paparan para informan tersebut di atas dapat dipahami bahwa penyelesaian perkara waris yang sesuai dengan rasa keadilan yang berlaku di masyarakat Muslim Jombang adalah jika perkara tersebut diselesaikan secara hukum Adat. Oleh karena itu mereka membawa perkara gugatan waris tersebut ke Pengadilan Negeri karena Pengadilan Agama dinilai sebagai lembaga peradilan yang tidak dapat mewakili kehendak mereka. II. Alasan Hakim Pengadilan Negeri Menyelesaikan Perkara Waris Masyarakat Muslim Peradilan Umum maupun Peradilan Agama memiliki kewenangan yang diberikan oleh undang-undang Republik Indonesia untuk menerima, memeriksa dan memutus perkara sengketa waris. Peradilan Umum kewenangannya didasarkan pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum jo. Stbl 1937 Nomor 116. Pasal 50 Undang-Undang Nomr 2 Tahun 1986 menyatakan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Sementara itu, kewenangan Peradilan Agama didasarkan atas Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 jo Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa perkara sengketa waris antara orang-orang yang beragama Islam adalah kewenangan absolut Peradilan Agama. Pasal 49 ayat 1 ini memberi pengertian bahwa salah satu asas sentral dalam undang-undang ini adalah asas personalitas ke-Islaman. Asas personalitas ke-Islaman ini dipandang sebagai salah satu dasar menegakkan eksistensi Peradilan Agama, sebagai pelaksana dari penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, yang menentukan bahwa salah satu dari ciri eksistensi kekhususan lingkungan Peradilan Agama digantungkan kepada Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 19 faktor golongan rakyat tertentu, yang dimaksud golongan rakyat tertentu tersebut adalah golongan rakyat yang beragama Islam M. Yahya Harahap147 Terkait sengketa waris antara orang-orang yang beragama Islam yang diselesaikan di Pengadilan Negeri Jombang secara garis besar terdapat beberapa alasan yang dijadikan dasar oleh hakim dan panitera bidang perdata Pengadilan Negeri Jombang dalam menyelesaikan perkara waris tersebut antara lain Pasal 10 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, adanya unsur melawan hukum dalam gugatan waris tersebut, dan Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Pengadilan Agama. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 Ayat 1 jo UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan “bahwa pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”. Ketentuan pasal ini memberi makna bahwa hakim sebagai organ utama pengadilan dan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman wajib hukumnya bagi hakim menerima, memeriksa, dan memutus perkara yang diajukan kepadanya. Hakim tidak boleh menolak untuk mengadili suatu perkara hanya karena alasan hukumnya belum ada atau tidak jelas. Di sini hakim wajib menemukan hukumnya dalam suatu perkara meskipun ketentuan hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Atas penjelasan tersebut di atas Rayes mengatakan, pada prinsipnya kita semua sepakat bahwa hakim tidak boleh menolak perkara yang diajukan kepadanya termasuk perkara sengketa waris masyarakat yang beragama Islam. Jika terjadi perselisihan kewenangan akan diatur dalam persidangan nanti. Rayes benar, bahwa dalam Hukum Acara Perdata terdapat istilah perkara ditolak yang dikenal dengan istilah Niet Ontvankelijk Verklaard atau perkara yang tidak dapat diterima. NO ini akan dikeluarkan oleh majelis hakim jika gugatan, permohonan atau dakwaan tidak memenuhi syarat formal. Kadang-kadang masyarakat awan sulit membedakan antara putusan yang berbunyi perkara tidak dapat diterima dengan perkara yang ditolak. Dengan demikian menurut Rayes, hakim Pengadilan Negeri Jombang tidak pernah menolak perkara gugatan waris karena Ilham Tohari 20 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam mereka menganggap bahwa perkara tersebut masih menjadi wewenang Pengadilan Negeri. Pasal 50 UU No. 8 tahun 2004 menentukan bahwa Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Kekuasaan Pengadilan Negeri dalam perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya atau hal-hal keperdataan lainnya Pasal 2 Ayat 1 RO, kecuali apabila dalam undang-undang ditetapkan pengadilan lain untuk memeriksa dan memutuskan TLN. 81, misalnya perkara perceraian bagi mereka yang beragama Islam menjadi wewenang Pengadilan Agama Pasal 14 jo. UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Pengertian “keperdataan lainnya” adalah perkara perdata meliputi baik perkara yang mengandung sengketa contentious maupun yang tidak mengandung sengketa voluntair. Lihat juga dalam Pasal 5 Ayat 3a UUDar. No. 1 Tahun 1951 tentang Tindakan-tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, di dalamnya juga mengandung pengertian penyelesaian masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair, yaitu tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa Sudikno Mertokusumo, 2010115. Terkait wewenang Pengadilan Agama dalam mengadili perkara waris yang telah ditentukan oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, Rayes menjawab bahwa undang-undang tersebut masih memberikan wewenang kepada Pengadilan Negeri untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan perkara sengketan waris masyarakat muslim, karena pada Pasal 50 Ayat 1 menyatakan “Dalam hal terjadi sengketa hak milik atau sengketa lain dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49, khusus mengenai objek sengketa tersebut harus diputus lebih dahulu oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”. Selain itu dalam Pasal 50 Ayat 1 tersebut terdapat kata “sengketa hak milik”, dan setiap sengketa hak milik mengandung unsur perbuatan melawan hukum PMH. Hal ini ditegaskan oleh Moch. Kholik yang menjabat sebagai Ketua Panitera Bidang Perdata, bahwa setiap perkara perdata yang masuk ke Pengadilan Negeri ini dikaji terlebih dahulu apakah perkara tersebut merupakan wewenang Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Dan gugatan sengketa waris yang diajukan ke Pengadilan Negeri Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 21 Jombang oleh orang-orang yang beragama Islam diterima karena gugatan tersebut mengandung unsur melawan hukum. Melawan hukum adalah mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun materiil, yakni meskipun perbuatan itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun jika perbuatan itu dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidanan. Hal itu bisa dilihat dalam penjelasan Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dari sini, kata “sengketa dalam Pasal 50 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tersebut ditafsiri Kholik sebagai suatu “perbuatan yang mengandung unsur melawan hukum”. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang dengan sengaja dilakukan dengan cara melawan hak orang lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan menggoncangkan kehidupan masyarakat Wirjono Prodjodikoro, tt 13. Sebagai pelaksana kehakiman maka wajib bagi hakim untuk menjaga ketentraman dan memberikan rasa keadilan yang dituntut oleh masyarakat. Selain itu, Pengadilan Negeri Jombang dalam menyelesaikan kasus sengketa waris antara orang-orang yang beragama Islam didasarkan pada Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa “Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.” Sebagai perbandingan penulis tuliskan bunyi Pasal 50 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama “Apabila terjadi sengketa hak milik sebagaimana dimaksud pada ayat 1 yang subjek hukumnya antara orang-orang yang beragama Islam, objek sengketa tersebut diputus oleh Pengadilan Agama bersama-sama perkara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49.” Dalam hal ini Rayes menegaskan, bahwa Pasal 50 Ayat 2 tersebut benar bahwa Pengadilan Agama memiliki wewenang mengadili sengketa hak milik yang subjek hukumnya adalah Ilham Tohari 22 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam orang-orang yang beragama Islam. Namun demikian, dalam penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama tersebut, yang dimaksud dengan orang-orang yang beragama Islam adalah orang-orang yang dengan suka-rela menundukkan diri pada hukum Islam. Oleh karena itu orang-orang yang beragama Islam yang bersengketa di Pengadilan Negeri adalah orang-orang yang menundukkan diri pada hukum perdata Indonesia BW atau hukum waris adat. Dengan demikian sikap pengadilan tidak boleh menolak orang Islam yang ingin menyelasaikan perkaranya di Pengadilan Negeri. III. Sekularesasi Lembaga Peradilan Fenomena masyarakat Muslim yang menyelesaikan perkara waris di Pengadilan Negeri menujukkan tidak adanya kepastian hukum, karena Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama menurut perspektif masing-masing memiliki wewenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus sengketa waris masyarakat yang beragama Islam, dan dalam sejarahnya, ini merupakan perdebatan kewenangan antara kedua lembaga peradilan tersebut yang belum selesai hingga sampai sekarang. Adanya fenomena orang-orang yang beragama Islam datang ke Pengadilan Negeri Jombang untuk menyelesaikan sengketa warisnya adalah orang-orang yang dengan suka rela menundukkan diri pada hukum waris perdata Indonesia dan atau hukum waris adat. Dalam hal ini, negara tidak dapat memaksa orang-orang Muslim untuk tunduk dan patuh terhadap hukum waris Islam, sebab Indonesia bukan negara agama melainkan negara modern yang berdasarkan Pancasila yang tidak boleh mengistimewakan ajaran agama tertentu serta negara tidak boleh ikut campur dalam urusan agama. Sikap ini akan berlawanan dengan asas kesetaraan egalitarianisme bagi warga Negara termasuk formalisasi ajaran dalam masyarakat lewat perangkat hukum. Muhammad AS Hikam, 199691. Masdar F. Mas’udi menyatakan, Agama wilayah privat independen terhadap negara dan bertumpu pada kebebasan iman sementara negara urusan public, objektif, rasional dan terbuka. Kompas, 29/8/1998. Karena itu adanya pilihan hukum atau hak opsi dalam menyelesaikan sengketa waris adalah sikap negara yang demokratis yang memberi kebebasan kepada warga negara Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 23 untuk memilih hukum waris yang akan digunakan untuk menyelesaikan perkara waris mereka, selain itu Indonesia sudah terlanjur plural atau majemuk dalam berbagi hal baik agama, suku, ras, dan bahasa. Karena itu penulis sepakat dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang belum diamandemen, karena dalam Penjelasan Pasal 49 masih memberi pilihan hukum dan ini berarti negara telah memberi kebebasan pada warga negaranya serta tidak diskriminasi terhadap agama-agama lain di Indonesia. Di sini—dalam hal adanya pilihan hukum waris—dapat dipahami melalui dua argumentasi. Pertama, pandangan yang bertitik tolak dari doktrin yang mengajarkan bahwa pada umumnya setiap bidang hukum perdata adalah bersifat mengatur atau regelend dan tidak bersifat memaksa atau dwingend. Oleh karena itu menurut ajaran ini, aturan hukum perdata termasuk di dalamnya hukum kewarisan, dapat disisihkan melalui persetujuan antara para pihak yang bersengketa. Aturan hukum yang bersifat mengatur ini tidak dapat dipaksakan sekalipun oleh hakim atau negara. Dengan demikian, hakim tidak berwenang memaksakan pilihan hukum tertentu yang sifat hukumnya mengatur Afdol, 2010 52. Kedua, negara tidak dapat memaksa kepada warga negaranya untuk tunduk kepada ajaran agama tertentu, karena Indonesia bukan negara agama melainkan negara yang berdasarkan Pancasila. Jika dicermati dalam Penjelasan Pasal 49 tersebut “menundukkan diri dengan sukarela”, berarti Negara Republik Indonesia melalui undang-undang tersebut memberi kebebasan kepada warga negara untuk memilih hukum kewarisan yang akan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan perkara waris di antara mereka. Kebebasan tersebut dilindungi oleh Pasal 27 UUD 1945 Ayat 1 yang menjelaskan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Selain itu, Negara Republik Indonesia hanya melindungi warga negaranya yang memeluk agama dan menjalankan agamanya. Hal tersebut di atas sesuai dengan Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya Ilham Tohari 24 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Oleh karena itu menurut Mahfud MD, negara wajib melindungi warganya yang beragama dan menjalankan agamanya, tetapi negara tidak wajib memberlakukan salah satu hukum agama yang ada di Indonesia. Mahfud MD, Challenges and Opportunities of Islamic Law In The Political Development of Law and Enforcement of Constitusi Kediri International Conference STAIN Kediri 9-10-2011. Dalam perspektif Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan melalui Penjelasan Pasal 49 tersebut berarti warga negara Indonesia—termasuk orang-orang yang beragama Islam—telah diberi kebebasan untuk memilih peradilan yang mana dan hukum kewarisan apa yang akan digunakan untuk menyelesaikan sengketanya. IV. Hukum dan Masyarakat Terkait fenomena perkara waris masyarakat muslim yang diselesaikan di Pengadilan Negeri Jombang, dapat diartikan sebagai sikap masyarakat muslim yang inkonsistensi terhadap hukum waris Islam. Inkonsistensi ini disebabkan karena hukum waris Islam bukan sesuatu yang prinsip dalam kehidupan masyarakat muslim. Dalam hal ini yang dimaksud adalah sah dan tidaknya dalam pembagian waris tidak harus didasarkan kepada ajaran agama. Hukum kewarisan Islam dipandang sebagai bentuk ibadah sosial yang dalam pelaksanaannya dapat dijalankan dengan kesepakatan bersama. Bandingkan dengan ajaran fiqh nikah dan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Pernikahan. Hal ini sangat berbeda dengan hukum perkawinan, karena masyarakat muslim berkeyakinan bahwa suatu pernikahan yang tidak didasarkan kepada ajaran agama maka pernikahan tersebut tidak sah. Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Selain itu, fenomena penyelesaian perkara waris masyarakat muslim di Pengadilan Negeri tersebut adalah bagian dari wujud lemahnya kesadaran hukum masyarakat muslim Jombang terhadap hukum waris agamanya. Bagaimana mungkin hukum waris Islam dapat berpengaruh kepada kesadaran hukum mereka sementara mereka tidak memahami hukum waris Islam yang sesungguhnya. Selain itu faktor kebiasaan masyarakat di lingkungan mereka Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 25 bertempat tinggal juga sangat mempengaruhi kesadaran hukum mereka. Fenomena seperti itu menunjukkan bahwa ada keterpisahan antara kepercayaan seseorang terhadap agama dengan kesadaran hukumnya. Hukum agama fikih telah ditinggalkan dan memilih hukum lain yang lebih rasional. Perilaku hukum masyarakat tidak serta merta sesuai dengan keyakinan agama yang dipilihnya. Tidak dilaksanakannya hukum waris Islam oleh umat Islam karena hukum waris Islam dirasa tidak bisa memberikan rasa adil kepada pemeluknya. Fakta ini semakin memperkuat bahwa kondisi dan perkembangan masyarakat tidak direspons oleh hukum Islam. Terjadinya konflik dan ketegangan antara ide hukum dan penerapannya adalah merupakan situasi yang biasa terjadi pada masyarakat yang selalu berubah. Dalam usu al-Fiqh dapat ditemukan suatu kaidah Taghayyuri al-Ahka>m bi Taghayyuri al-Azminati wa al-Amkinati wa al-Urfi, maksudnya pelaksanaan hukum dapat berubah karena perbedaan zaman dan tempat serta adat istiadat. Dari sini dapat dipahami bahwa berlakunya hukum waris Islam sangat ditentukan oleh kesadaran hukum masyarakat Islam. Ide tentang kesadaran warga-warga masyarakat sebagai sahnya hukum positif tertulis ditemukan dalam ajaran-ajaran tentang Rechtsgefuhl atau Rechtsbewustzijn yang intinya adalah bahwa tidak ada hukum yang mengikat warga-warga masyarakat kecuali atas dasar kesadaran hukumnya Soerjono Soekamto dan Soleman B. Taneko, 1983338. Oleh karena itu masyarakat muslim yang menyelesaikan perkara warisnya di Pengadilan Negeri tidak sungguh-sungguh menjunjung tinggi hukum Islam sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan perkara yang timbul dari risiko hidup bersama. Masyarakat muslim Jombang menolak terhadap hukum waris Islam disebabkan oleh karena hukum waris Islam tidak sesuai dengan kondisi sosial masyarakat. Menurut Khoiruddin Nasution, respon masyarakat terhadap keberadaan hukum keluarga Islam termasuk hukum waris Islam pada umumnya negatif. Artinya, umumnya masyarakat menolak isi hukum keluarga Islam. Sebab penolakannya ada 3 tiga kemungkinan, yaitu 1. Hukum keluarga Islam kontemporer tidak sejalan dengan nilai yuridis, filosofis dan sosiologis masyarakat. Ilham Tohari 26 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam 2. Masyarakat tidak memahami atau mengetahui isi hukum keluarga Islam kontemporer. 3. Hukum keluarga Islam kontemporer tidak sesuai dengan sistem sosial yang berlaku Khoiruddin Nasution, 2007 48. Kesadaran hukum masyarakat muslim terhadap hukum waris Islam dapat diartikan sebagai kesediaan masyarakat muslim untuk menerima, menjalankan dan patuh terhadap hukum waris Islam yang berlaku. Kepatuhan masyarakat muslim terhadap hukum waris Islam yang berlaku ini diartikan sebagai kewajiban bagi setiap masyarakat muslim sebagai umat muslim yang baik dan sadar hukum. Kesadaran hukum merupakan faktor internal pada diri manusia yang sangat berpengaruh pada kepatuhan dan ketaatan hukumnya yang cenderung diwujudkan dalam sikap dan perilakunya. Tetapi ketaatan atau kepatuhan hukum seseorang tidak selalu dipengaruhi oleh kesadaran hukumnya, sebab masih ada pengaruh dari variebel lainnya yang disebut sebagai intervening variables antara lain kelengkapan peraturan hukum dan legitimasinya dari sudut konstitusi, kesesuaian sosiologis, komprehensif atau menyeluruh dan lengkap serta konsisten tidak ada pertentangan antara satu peraturan dengan peraturan yang lainnya. Selain itu dipengaruhi oleh adanya sarana sosial dalam arti publikasi pengundangan yang luas, sistem informasi terbuka dan alirannya bebas, serta dukungan politik dari penguasa. Jadi kesadaran hukum yang tinggi tidak selalu diikuti dengan ketaatan atau kepatuhan hukum yang tinggi pula. Namun demikian ketaatan dan kepatuhan hukum yang tinggi mencerminkan kesadaran hukum yang tinggi, meskipun kesadaran hukum bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi ketaatan hukum seseorang. Dengan demikian, kesadaran hukum adalah kesadaran pada masyarakat untuk menerima dan menjalankan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Menurut Hilman Hadi Kusumo, terdapat 4 empat indikator kesadaran hukum, yang masing-masing merupakan suatu tahapan bagi tahap berikutnya, yaitu Pertama, memiliki pengetahuan hukum. Pengetahuan hukum adalah pengetahuan seseorang mengenai beberapa perilaku Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 27 tertentu yang diatur oleh hukum. Sudah tentu bahwa hukum yang dimaksud di sini adalah hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Pengetahuan tersebut berkaitan dengan perilaku yang dilarang ataupun perilaku yang diperbolehkan oleh hukum. Sebagaimana dapat dilihat di dalam masyarakat bahwa membunuh, mencuri, dan seterusnya dilarang oleh hukum. Pengetahuan hukum tersebut erat kaitannya dengan asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahui isi suatu peraturan manakala peraturan tersebut telah diundangkan. Pendapat Hilman tersebut memberi pengertian bahwa kesadaran hukum dapat terwujud dengan melalui kebiasaan-kebiasaan dalam kehidupan masyarakat. Jadi melalui adat kebiasaan itu masyarakat memperoleh pengetahuan hukum. Hal ini seperti yang dikatakan Salah satu informan yang menyelesaikan sengketa waris di Pengadilan Negeri Jombang . Register No. 24 / / 2009 / PN. JMB. yaitu Gini “Kulo mboten mangertos hukum waris Islam kejawi sekedik sakeng poro ustadz, lan kula mangertosi hukum waris adat sakeng nopo engkang sampun didawoaken poro leluhur lan ugi sakeng menopo engkang sampun dipun lampahi kalian masyarakat umumipun.” Terjemahannya “Saya tidak mengerti tentang hukum waris Islam kecuali apa yang telah diterangkan oleh para ustadz, dan saya mendapatkan pemahaman tentang hukum waris adat dari apa yang telah diajarkan oleh nenek-moyang serta apa yang telah dilakukan oleh masyarakat pada umumnya.” Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa informan memahami tentang hukum waris adat dari pola perilaku para pendahulunya yang secara turun-temurun mempraktekkan dan diyakini sebagai suatu aturan yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat. Di sini, hukum adat pada dasarnya adalah cerminan dari apa yang diyakini seseorang sebagai cara hidup yang benar sesuai dengan rasa keadilan dan kepatutan mereka. Dalam bentuk tradisionalnya, hukum adat dicirikan oleh model penyampaiannya yang tidak tertulis dalam kehidupan komunitas. Kekhasan hukum adat terletak pada tradisi lisannya. Melalui tradisi lisan inilah karakter adat itu dilestarikan dan melalui tradisi ini Ilham Tohari 28 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam pula hubungan antara masa lalu, masa sekarang, dan masa depan dipertahankan. Oleh karena informasi yang dibawa ke dalam komunitas biasanya disampaikan secara lisan, maka hukum di dalam adat pun jarang dikodifikasikan M. Djojodigoeno, 1950 6-8. Kedua, pemahaman hukum, yaitu sejumlah informasi yang dimiliki seseorang mengenai isi peraturan suatu hukum tertentu. Dengan lain perkataan pemahaman hukum adalah suatu pengertian terhadap isi dan tujuan dari suatu peraturan dalam suatu hukum tertentu, tertulis maupun tidak tertulis, serta manfaatnya bagi pihak-pihak yang kehidupannya diatur oleh peraturan tersebut. Dalam hal pemahaman hukum, tidak disyaratkan seseorang harus terlebih dahulu mengetahui adanya suatu aturan tertulis yang mengatur suatu hal. Akan tetapi yang dilihat di sini adalah bagaimana persepsi mereka dalam menghadapi berbagai hal, dalam kaitannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat. Persepsi ini biasanya diwujudkan melalui sikap mereka terhadap tingkah laku sehari-hari. Pemahaman hukum ini dapat diperoleh bila peraturan tersebut dapat atau mudah dimengerti oleh warga masyarakat, bila demikian, hal ini tergantung pula bagaimanakah perumusan pasal-pasal dari peraturan perundang-undangan tersebut. Jika dicermati, hukum kewarisan adat jauh lebih mudah dari pada hukum waris Islam yang terkesan matematis, serta pembagian yang belum berubah pada ahli waris utama yang berbeda jenis kelaminnya. Faktor tersebut juga dapat menimbulkan lemahnya kesadaran hukum masyarakat muslim terhadap hukum kewarisan yang diajarkan oleh agama mereka. Seperti yang dikatakan oleh Ida Zoerya Kami sengaja memilih Pengadilan Negeri karena pengadilan tersebut tidak diskriminasi terhadap siapa pun. Pengadilan Negeri tidak membeda-bedakan agama, suku, adat masyarakat yang mencari keadilan di sana. Hal ini berbeda jika kami menyelesaikan perkara sengketa waris kami di Pengadilan Agama wawancara tanggal 23 Nopember 2015 Ketiga, sikap hukum atau legal attitude adalah suatu kecenderungan untuk menerima hukum karena adanya penghargaan terhadap hukum sebagai sesuatu yang bermamnfaat Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 29 atau menguntungkan jika hukum itu ditaati. Sebagaimana terlihat di sini bahwa kesadaran hukum berkaitan dengan nilai-nilai yang terdapat di masyarakat. Suatu sikap hukum akan melibatkan pilihan warga terhadap hukum yang sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam dirinya sehingga akhirnya warga masyarakat menerima hukum berdasarkan penghargaan terhadapnya. Keempat, pola perilaku hukum legal behavior. Pola perilaku hukum merupakan hal yang utama dalam kesadaran hukum, karena di sini dapat dilihat apakah suatu peraturan berlaku atau tidak dalam masyarakat. Oleh karena itu, sampai seberapa jauh kesadaran hukum dalam masyarakat dapat dilihat dari pola perilaku hukum suatu masyarakat R. Otje Salman, 200740. Terdapat kaitan antara kesadaran hukum dengan kebudayaan hukum. Keterkaitan tersebut dapat dilihat bahwa kesadaran hukum banyak sekali berkaitan dengan aspek-aspek kognitif dan perasaan yang seringkali dianggap faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan antara hukum dengan pola-pola perilaku manusia dalam masyarakat. Ajaran kesadaran hukum lebih banyak mempermasalahkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai mediator antara hukum dengan perilaku manusia baik secara individual maupun kolektif. Oleh karenanya ajaran kesadaran hukum lebih menitikberatkan kepada nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Sistem nilai-nilai akan menghasilkan patokan-patokan untuk berproses yang bersifat psikologis, antara lain pola berpikir yang menentukan sikap perilaku manusia, sikap mental yang pada hakikatnya merupakan kecenderungan untuk bertingkah laku, membentuk pola-pola perilaku maupun kaidah-kaidah. Bila hukum merupakan konkritisasi dari sistem nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, maka suatu keadaan yang dicita-citakan adalah adanya keselarasan dan keseimbangan antara hukum dengan sistem nilai-nilai tersebut. Konsekuensinya adalah bahwa perubahan pada sistem nilai-nilai harus diikuti dengan perubahan hukum atau hukum harus dapat dipergunakan sebagai sarana untuk mengadakan perubahan pada sistem nilai-nilai tersebut. Dengan demikian kesadaran hukum sebetulnya merupakan masalah nilai-nilai dan konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang keserasian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang sepantasnya. Ilham Tohari 30 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa apabila indikator-indikator dari kesadaran hukum dipenuhi, maka derajat kesadarannya tinggi, begitu pula sebaliknya. Tingginya kesadaran hukum warga masyarakat mengakibatkan para warga masyarakat menaati ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Begitu pula sebaliknya, apabila derajat kesadaran hukumnya rendah, maka derajat ketaatan terhadap hukum juga rendah. Setiap indikator menunjuk pada tingkat kesadaran hukum tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Terjadinya fenomena penyelesaian perkara sengketa waris orang Islam di Pengadilan Negeri selain disebabkan oleh tidak adanya kepastian hukum dan kesadaran hukum masyarakat muslim, juga disebabkan oleh ketidak berdayaan pemerintah untuk mewujudkan hukum waris nasional. Akibatnya sebagian kelompok masyarakat Indonesia mempertahankan hukum kewarisan yang sesuai dengan pandangan mereka. Oleh karena itu solusi yang terbaik adalah unifikasi hukum kewarisan yang bersumber dari berbagai macam hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia. C. KESIMPULAN Dari data penelitian dan analisis peneliti dapat disimpulkan sebagai berikut 1. Alasan hakim Pengadilan Negeri menerima, memeriksa, dan memutus perkara waris masyarakat Muslim Jombang adalah didasarkan pada Penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang menyatakan bahwa “Penyelesaian sengketa tidak hanya dibatasi di bidang perbankan syari’ah, melainkan juga di bidang ekonomi syari’ah lainnya. Yang dimaksud dengan “antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.” Penjelasan Pasal 49 tersebut sengaja dirancang bagi masyarakat Muslim yang dengan suka rela tidak menundukkan diri pada aturan hukum agama Islam untuk dapat menyelesaikan perkara waris mereka di Pengadilan Negeri tanpa harus meninggalkan agama Islam. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 31 2. Alasan masyarakat Muslim Jombang menyelesaikan perkara waris mereka di Pengadilan Negeri adalah agar perkara waris mereka dapat diselesaikan sesuai dengan rasa keadilan yang berlaku, rasa keadilan yang sesuai dengan hukum Adat. Dalam hal ini yang dapat mewakili adalah Pengadilan Negeri, karena Pengadila Negeri tidak membeda-bedakan agama, suku, dan adat-istiadat terhadap masyarakat yang mencari keadilan. Kuatnya paradigma masyarakat terhadap hukum waris Adat tersebut, karena hukum waris Adat dipahami lebih bisa memberikan “keadilan” dan lebih sederhana dan telah terkonstruk secara turun temurun dalam masyarakat, sehingga menjadi hukum yang harus dipatuhi dari masa ke masa. Ilham Tohari 32 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam DAFTAR PUSTAKA Abubakar, Al-Yasa. Ahli Waris Spertalian Darah Kajian Perbandingan Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1989. Ahmad, Zaini. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta PT. Intermasa, 1996. Ali, Muhammad Daud. Hukum Islam di Peradilan Agama. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1999. Ali, Zainudin. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia. Jakarta Sinar Grafika, 2008. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri. Jakarta Pradnya Paramita, 1976. Amin Summa, Muhammad. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam. Jakarta PT. RajaGrafindo Persada, 2005. Anshori, Abdul Ghafur. Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta UII Press, 2005. Arifin, Bustanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan dan Prospeknya. Jakarta Gema Insini Press, 1996. Arto, A. Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2000. Badan Litbang dan Diklat KEMENAG Muchith A. Karimed.. Pelaksanaan Hukum Waris di Kalangan Umat Islam Indonesia. Jakarta Maloha Jaya Abadi Press, 2010. Berger, Peter L. Langit Suci Agama Sebagai Realita Klasifikasi. Jakarta LP3S,1991. Berger, Peter L dan Thomas Luckmann. Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Jakarta LP3S,1990. Bungin, Burhaned. Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologi ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta Rajawali Pres, 2004. Coulson, N. J. The Succession in Muslim Family. Cambridge University Press, 1971. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 33 Cox, James L. A Guide To The Phenomenology Of Religion. London The Continuum International Publishing Group, 2006. Dutton, Yasin. The Origins of Islamic Law. ttp. Curzon, 1999. Ehrlich, Eugen. Fundamental Principles of The Sociology of Law. New York Russell & Russell Inc. 1962. Friedman, Lawrence M. The Legal System, A Social Science Perspective. New York Russell Sage Fundation, 1975. Ghofur, Abdul. Demokratisasi dan Prospek Islam di Indonesia Studi Atas Pemekiran Gus Dur. Yogyakarta Walisongo Press dan Pustaka Pelajar, 2002. Hamami, Taufiq. Kedudukan dan Eksistensi Peradilan Agama dalam Sistem Tata Hukum di Indonesia. Bandung Alumni, 2003. Johnson, Doyle Paul. Teori Sosiologi. Jakarta Gramedia, 1994. Kamil, Ahmad. Filsafat Kebebasan Hakim. Jakarta Kencana, 2012. Khaeruman, Badri. Hukum Islam Dalam Perubahan Sosial. Bandung Pustaka Setia, 2010. Khadduri, Majid. Teologi Keadilan Perspektif Islam. Surabaya Risalah Gusti, 1999. Khusen, Muhammad. Madhab Baru Dalam Pembagian Waris Pada Umat Islam Salatiga. dalam Jurnal INFERENSI Desember 2009. Koentjoroningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Yogyakarta Djambatan, 1971. L. Esposito, John. Ed. In Chief. The Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World. New York Oxford University Press, 1995. Lev, Daniel S. Islamic Courts in Indonesia A Study in the Political Bases of Legal Institutions. Berkeley University of California Press, 1972. Lukito, Ratno. Hukum Sakral dan Hukum Sekuler Studi Tentang Konflik dan Resolusi dalam Sistem Hukum Indonesia. Jakarta Pustaka Alvabet, 2008. -. Pergumulan Hukum Islam dan Adat di Indonesia. Jakarta INIS, 1998. Mahfud MD, Moh. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 2009. Ilham Tohari 34 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Majid, Nurcholish. Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta Yayasan Wakaf Paramadina, 2004. Manan, Abdul. Reformasi Hukum Islam di Indonesia. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2006. Mas’adi Gufran A. Pemikiran Fazlur Rahman Tentang Metodologi Perubahan Hukum Islam. Jakarta Raja Grafindo, 1998. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta Universitas atma Jaya, 2010. Moeleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung Rosda Karya, 1994. Mudzhor, M. Atho ed.. Hukum Keluarga di Dunia Muslim Modern Studi Perbandingan dan Keberanjakan Undang-Undang Modern dari Kitab-Kitab Fiqh. Jakarta Ciputat Press, 2003. Noer, Deliar. The Modernist Muslim Movement in Indonesia 1900-1942. KL London, 1973. Poloma , Margaret. Sosiologi Kontemporer. Jakarta Rajawali Pres, 1994. Power, David S. Peralihan Kekayaan dan politik Kekuasaan Kritik Historis Hukum Waris. Yogyakarta LKiS, 2001. Salman, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat Terhadap Hukum Waris. Bandung Alumni, 1995. Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. Oxford Clarendon Press, 1993. Shahrur, Muhammad. The Qur’an, Morality and Critical Reason. Leiden Brill, 2009. Sjadzali, Munawir. Ijtihad Kemanusiaan. Jakarta Paramadina, 1997. Soekamto, Soerjono. Pokok-Pokok Hukum Adat. Bandung Alumni, 1981. Soekanto. Menidjau Hukum adat Indonesia. Djakarta Soeroengan, 1955. Soimin, Soedharyo. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta Sinar Grafika, Cet. 3, 2001. Subekti, Ramlan. Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta; Internusa, 2002. Suminto, Aqib. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta LP3ES, 1996. Menyoal Kewenangan Pengadilan Negeri Yudisia, Vol. 9, No. 1, Jan-Jun 2018 35 Suparlan, Parsudi. Pengantar Metode Penelitian Pendekatan Kualitatif. Jakarta Program Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, 1986. Suparman, Eman. Hukum Waris Indonesia dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW. Bandung Aditama, 2005. Supomo, R. Sistem Hukum di Indonesia Setelah Perang Dunia Ke II. Jakarta Pradnya Paramita, cet. 16, 2002. Tanya, Bernard L. Politik Hukum Agenda Kepentingan Bersama. Yogyakarta Genta Publishing, 2011. Ter Haar, B. Adat Law in Indonesia, terj. Adamson Hoebel dan A. Arthur Schiller. New York Institute of Pasific Relations, 1948. Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta Sinar Grafika, 1995. -. Receptie a Contrario Hubungan Hukum Adat dengan Hukum Islam. Jakarta Bina Aksara, 1980. Vollenhoven, C. Van. Miskeningen Van Het Adatrecht Boekandel en Drukkerij Voorkeem van Nederlandsch-Indie. Lieden Brill, 1931. Wignjodipoero, Soerojo. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta Haji Masagung, 1968. Yin, Robert K. Studi kasus, Desain dan Metode. Jakarta Rajawali Pres, 1997. Nurnainingsih Amrianai, Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan,Rajawali Press, Jakarta, 2012. Pasal 1 Angka 10 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa. Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Addat, dan Hukum Nasional, Kencana, Jakarta, 2011. Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Ilham Tohari 36 Jurnal Pemikiran Hukum dan Hukum Islam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2004 tentang Peradilan Umum. Undang-Undang Republik Indonesia No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama. Intruksi Presiden Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam KHI. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Waris Spertalian Darah Kajian Perbandingan Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan KalijagaAl-Yasa AbubakarAbubakar, Al-Yasa. Ahli Waris Spertalian Darah Kajian Perbandingan Penalaran Hazairin dan Penalaran Fiqh Mazhab. Disertasi Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Agama Islam di IndonesiaZaini AhmadAhmad, Zaini. Peradilan Agama Islam di Indonesia. Jakarta PT. Intermasa, Islam di Peradilan Agama. Jakarta Raja Grafindo PersadaMuhammad AliDaudAli, Muhammad Daud. Hukum Islam di Peradilan Agama. Jakarta Raja Grafindo Persada, 2002. Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta PT Raja Grafindo Persada, 1999.
Kompentensiadalah kewenangan mengadili dari badan peradilan. Kompetensi ada 2 yaitu : Kompetensi mutlak/absolut yaitu masing masing badan peradilan itu mempunyai wewenang untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara-perkara jenis tertentu yang mutlak tidak dapat dilakukan badan peradilan yang lain. Contoh : Sengketa
| Оծеηቪዌጭри тሳ | Δሂки тр осня | ውеτо обадрипсиη զюпс |
|---|---|---|
| Иհуктε ес | Х жοглαταщυቭ | Дроմ иδኞራፆбጂл |
| Σойεյէከеδ цеጄըղ | Ծፏдօл скክсту | Ιթеноվ υኯащотвጽ |
| Ск οвεзጦ | Хрըфоκ խклաн | Ιдεзօзαз ηер |
- Ու авю
- Эхըбуτጌвυн ιпишиγዐ зεб
- Գኚф овезጭճ
- ሑжаψер ևпቂтиֆэሁ й ρемоሾυψ
- Микዞղահоሥ ивևд
- ሌայуг μу խзв